Jembatan Apung tipe Pelengkung Rangka Baja di Cilacap, Jawa Tengah

Salah satu kegiatan penelitian dan pengembangan di Pusjatan yang cukup membuat saya sibuk dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 adalah Jembatan Apung, konsepnya pada tahun 2015 dibuat berdasarkan permintaan Menko Maritim terkait kebutuhan jembatan perlintasan di Kampung Laut yang tidak memungkinkan untuk jembatan konvensional karena tanahnya yang lunak. Oleh karena itu, dirancanglah Jembatan dengan fondasi terapung berupa pontoon. Jembatan ini kemudian dibangun pada tahun 2016 dan beroperasi pada tahun 2017 hingga saat ini untuk melayani akses warga menyeberangi Sungai Segara Anakan dari permukiman ke Pulau Nusakambangan yang merupakan pusat pemerintahan kecamatan dan pusat kegiatan masyarakat.

Kunjungan Pak Kabalitbang ke Jembatan Apung Cilacap
Saya terlibat dari mulai merencankan struktur pelengkung rangka baja dari jembatan tersebut, hingga mengawasi beberapa tahapan konstruksi di lapangan. Sebelum jembatan beroperasi, dilakukan uji beban untuk mengetahui kinerja jembatan secara aktual. Pengalaman tersebut khususnya terkait evaluasi jembatan dengan uji beban saya tuliskan ke dalam karya tulis ilmiah yang sudah diterbitkan di Jurnal Ilmiah Nasional terakreditasi, yaitu Jurnal Jalan-Jembatan yang dikelola Pusjatan. Berikut adalah intisari dari tulisan saya tersebut, dan pada bagian paling bawah bisa dilihat secara utuh tulisannya dalam format PDF. Selamat membaca.




Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan luas wilayah perairan yang mencapai 64,97% dari luas keseluruhannya (Bakosurtanal 2014). Aksesibilitas antar wilayah daratan banyak yang terpisah oleh wilayah perairan, sehingga membutuhkan adanya penghubung, antara lain dengan sebuah jembatan. Salah satu kendala dalam pembuatan jembatan di wilayah perairan adalah kondisi tanah yang bervariasi dan pada umumnya berupa tanah lunak sehingga membutuhkan pondasi jembatan yang dalam dan mahal. Solusi alternatif yang dapat digunakan adalah dengan memanfaatkan muka air sebagai landasan jembatan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip benda terapung (prinsip Archimedes), dimana setiap benda diam yang tenggelam seutuhnya atau tenggelam sebagian dalam fluida, bekerja sebuah gaya angkat atau gaya apung dengan besar gaya yang sama dengan berat fluida yang dipindahkan oleh benda tersebut, dengan arah berlawanan dengan gravitasi. Volume fluida yang dipindahkan tersebut ekivalen dengan volume dari benda yang tenggelam di dalam fluida. (Encyclopaedia Britannica 2016).

Dengan memanfaatkan muka air sebagai landasan jembatan, untuk melintasi suatu wilayah perairan di antara wilayah daratan, dapat membuat suatu jembatan dengan fondasi terapung, atau jembatan apung. Jembatan apung telah banyak dimanfaatkan untuk keperluan akses di atas wilayah perairan, salah satu yang terdokumentasi dalam sejarah antara lain pada tahun 480 SM (Saleh 2010) yang dibuat dari perahu yang berjajar dengan lantai kayu di atasnya seperti dapat dilihat pada Gambar 1.

Sedangkan untuk perkembangan di masa ini, salah satu jembatan apung yang cukup besar di dunia dan selesai dibangun pada awal milenium ini adalah Yumemai Bridge di Osaka, Jepang. Jembatan dengan panjang 410 m ini dibangun di atas saluran air, dengan menumpu pada dua buah pontoon baja (dimensi pontoon masing-masing adalah 58 m x 58 m x 8 m). Jembatan ini dapat berputar terhadap sumbu putarnya yang berada pada bagian ujung jembatan, jika sewaktu-waktu ada kapal yang sangat besar melintasi saluran air ini (Maruyama 2008), seperti dapat dilihat pada Gambar 2.
Jembatan apung dari deretan perahu (Saleh 2010)
Jembatan Apung Yumemai, Jepang (Maruyama 2008)
Jembatan Apung Cilacap pada masa konstruksi

Teknologi jembatan apung di Indonesia salah satunya tengah dikembangkan oleh Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2015, dilakukan pengembangan jembatan apung tipe pelengkung rangka baja untuk pejalan kaki dengan menggunakan pontoon apung sebagai fondasi dari kaki jembatan pelengkung, sehingga diperoleh bentang yang cukup besar dan tinggi bebas di bawah jembatan yang lebih tinggi untuk keperluan lalu lintas perairan. Tipe jembatan apung yang dikembangkan saat ini merupakan tipe jembatan apung pertama yang dikembangkan di Indonesia. Hal ini terinspirasi dari jembatan apung Yumemai Bridge di Jepang yang memiliki tipe jembatan apung pelengkung dengan pontoon sebagai penumpu kaki jembatan.

Pada tahun 2016, jembatan apung ini menjadi bagian dari pilot project Sistem Modular Wahana Apung di lingkungan Badan Litbang PUPR untuk dikonstruksi. Jembatan apung ini dirakit di dermaga di Majingklak, Jawa Barat dan kemudian ditarik dengan perahu ke lokasi konstruksi yang berjarak sekitar 10 km, yaitu di Motean, Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah (Pusjatan 2016).

Jembatan apung yang difungsikan untuk perlintasan pejalan kaki dan sepeda motor ini memiliki lebar lantai 1,8 m dan panjang total keseluruhan jembatan 70 m yang terdiri dari 3 bentang dengan dua pontoon (apung) sebagai penyangga untuk kedua kaki jembatan pelengkung seperti dapat dilihat pada Gambar 3. Dua bentang lainnya merupakan jembatan rangka biasa yang berfungsi sebagai bentang pendekat (Pusjatan 2016).

Karena jembatan tipe ini merupakan yang pertama di Indonesia, maka dalam perencanaannya masih menggunakan asumsi-asumsi parameter dalam pemodelan, misalnya kondisi tumpuan di atas air yang diasumsikan sendi dan rol secara sederhana. Asumsi yang digunakan harus dibuktikan dan dalam tahapan evaluasi perencanaan, parameter pemodelan perlu disesuaikan dengan perilaku sesungguhnya di lapangan setelah jembatan terbangun.

Perilaku sesungguhnya jembatan terhadap beban dapat diketahui dengan menggunakan metode uji pembebanan dengan mencari kapasitas sesungguhnya jembatan untuk difungsikan sebagai jembatan pejalan kaki, dan model struktur yang telah sesuai akan dapat dimanfaatkan untuk evaluasi kondisi jembatan. Oleh karena itu, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kondisi dan perilaku jembatan yang sesungguhnya terhadap beban, kemudian dilakukan penyesuaian model struktur dari tahapan perencanaan.

Kesimpulan

Jembatan apung tipe pelengkung rangka baja yang diterapkan di Kampung Laut Cilacap memiliki perilaku jembatan pada arah sumbu vertikal tertumpu permukaan air dan perilaku pada arah sumbu horizontal satu sisi kaki jembatan menumpu pada tiang lateral dan satu sisi lainnya bebas bergerak sehingga berperilaku secara sendi dan rol pada arah horizontal. Kekakuan dan kapasitas struktur jembatan dalam model akan sangat terpengaruh terhadap nilai kekakuan permukaan air terhadap pontoon, sehingga kapasitas yang diijinkan akan berbeda dengan kapasitas rencana yang dibuat untuk asumsi kondisi tumpuan jembatan sendi rol sederhana.

Berdasarkan evaluasi beban layan ijin yang telah dilakukan berdasarkan uji pembebanan, didapatkan hasil bahwa struktur jembatan layak untuk difungsikan sebagai jembatan pejalan kaki dengan pembatasan beban layan yang diijinkan yaitu setara dengan 125% beban uji statis atau 1,10 kN/m2, atau setara dengan 2 orang yang berjalan bersama dalam luasan lantai 1 m x 1 m dengan berat rata-rata 55 kg per orang. Pembatasan beban ini dilakukan untuk memenuhi aspek keamanan penggunaan jembatan. Selain itu, didapat juga hasil uji dinamis, yaitu frekuensi natural jembatan sebesar 2,2 Hz, sehingga jembatan apung ini layak untuk digunakan untuk memenuhi aspek keamanan dan kenyamanan struktur jembatan, baik secara statis maupun dinamis.

Link ke jurnal online : 
http://jurnal.pusjatan.pu.go.id/index.php/jurnaljalanjembatan/article/view/100

Komentar

Postingan Populer